DPP LDII: HUT Kemerdekaan RI Mengingatkan, Kita Rapuh tanpa Pancasila
Jakarta (16/8). Setiap 17 Agustus kesadaran kolektif bangsa Indonesia diingatkan kembali mengenai arti kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia bukan hanya diperingati dengan indahnya kembang api atau acara yang megah, tapi mengingatkan kembali tujuan berdirinya bangsa ini.
“Para pendiri bangsa telah menetapkan tujuan berdirinya bangsa dan negara ini dengan sangat elok, dalam pembukaan UUD 1945. Itulah jalan di kaki menetap untuk membangun Indonesia,” ujar Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso.
Siapapun eksekutif pelaksana pemerintahan, pembukaan UUD 1945 menjadi acuannya. Menurutnya, kondisi dunia yang sedang prihatin akibat pandemi Covid-19 memberikan hikmah agar rakyat Indonesia saling bergotong royong, menyedekahkan harta dan tenaga yang dimiliki dalam penanganan pandemi Covid-19.
Selain itu, pandemi Covid-19 juga memunculkan kesadaran pentingnya urusan kebangsaaan, “Musuh kebangsaan itu muncul untuk merusak persatuan dan kesatuan, berupa hoaks yang bertebaran di media sosial,” ungkapnya. Hal itu, bisa merusak pengikat kita sebagai bangsa yang terdiri dari beragam ras, suku, dan agama.
“Harus selalu kita ingat bahwa kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang satu, bahwa Indonesia dibentuk dan lahir dari perbedaan yang ada,” ujarnya. Sehingga, menyatukan perbedaan menjadi sesuatu yang memiliki nilai tertinggi saat Indonesia telah merdeka dan wawasan kebangsaan harus selalu diberikan.
Menghadapi pandemi, Chriswanto menegaskan bahwa tugas sebagai warga negara bukanlah mengeluh terhadap apa yang diberikan Allah, namun bagaimana berikhtiar, mengatasi bersama-sama Covid-19 dan kembali Indonesia membangun perekonomiannya menuju Indonesia Emas 2045. Hal ini juga sesuai dengan tema Kemerdekaan Indonesia, ‘Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh’.
Bagi LDII, jika Indonesia guncang, maka umat Islam tidak bisa melaksanakan ibadah dan berdakwah dengan baik. “Mari kita mencintai Indonesia, membangun Indonesia, dan betul-betul kita ciptakan umat ini menjadi bangsa yang tangguh menghadapi cobaan ini,” kata Chriswanto.
Senada dengan Chriswanto, Kasubdis Lingkim Direktorat Bela Negara Ditjen Potensi Pertahanan Umum Kemhan Kolonel Adm Amiruddin Laupe, menegaskan pandemi Covid-19 seharusnya menjadi penguat nilai-nilai gotong royong. Menurutnya nilai gotong royong dari para pendahulu bangsa Indonesia, yang perlu ditanamkan hingga kini.
Amiruddin Laupe mengatakan, gotong royong terkandung dalam empat konsensus kenegaraan, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Lebih jauh lagi, gotong royong dalam Bhinneka Tunggal Ika itu dapat mengatasi ancaman aktual seperti terorisme dan radikalisme atau ancaman potensial seperti konflik terbuka.
“Toleransi dan gotong royong dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah modal utama mempersatukan bangsa,” kata Amiruddin. Agar dapat melaksanakan praktik Bhinneka Tunggal Ika, bangsa Indonesia harus memahami arti penting dari Pancasila, yang dibumikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ia berpendapat, untuk mengaktualisasikan Pancasila, yang pertama adalah setiap warga negara dan kelompok memiliki kesadaran untuk bela negara, yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 3, “Hal itu berlaku juga untuk ormas-ormas serta parpol yang paling mewakili masyarakat,” paparnya.
Sementara itu Ketua DPP LDII yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono mengatakan gotong-royong yang terkandung dalam Pancasila adalah pertanda bangsa yang beradab, “Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang beradab jika tidak memiliki kemanusiaan, kebersamaan, dan tidak memiliki kesadaran untuk bergotong royong. Lebih lanjut ia mengatakan Indonesia rapuh, jika tanpa Pancasila.
Singgih juga menjelaskan posisi strategis sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai pondasi, bukan sebagai ‘bingkai’ dalam konstruksi keindonesiaan. Menurutnya, jika sila Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan bingkai atau wadah yang akan melahirkan agama tertentu, maka menurutnya ini akan menjadi bibit konflik yang berkepanjangan.
“Karena negara kita adalah negara yang plural, termasuk dalam hal agama dan kepercayaan. Maka agama dijadikan sebagai pondasi, bukan sebagai wadah,” kata Singgih. Sementara, pembingkai konstruksi keindonesiaan dalam Pancasila adalah sila ‘Persatuan Indonesia’ atau sila ketiga.
Sehingga rumusannya, apapun agama yang dipeluk yang sesuai dengan sila pertama, bermacam aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan berdasarkan sila kedua, berbagai bentuk demokrasi yang dijalankan sesuai sila keempat, serta model keadilan yang dibayangkan seperti apa yang dimaksud sila kelima, poinnya adalah harus dalam bingkai Persatuan Indonesia, “Jadi tetap dalam bingkai NKRI (sila yang ketiga),” kata Singgih.
Jika sila pertama dijadikan sebagai pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan, maka sila kedua (kemanusiaan) dan sila keempat (demokrasi) dijadikan sebagai semangat serta cara untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
Singgih membuat kristalisasi pandangan LDII terhadap Pancasila, yang menegaskan bahwa bangsa Indonesia tanpa Pancasila akan rapuh. Pertama, Indonesia akan rapuh jika tidak punya pondasi religiusitas yang kuat, sebagaimana yang termaktub dalam sila pertama Pancasila, yakni ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Kedua, bangsa Indonesia akan tercerai berai jika tidak ada bingkai yang jelas, seperti yang dirumuskan dalam sila ketiga, yang berbunyi ‘Persatuan Indonesia’. Ketiga, bangsa Indonesia akan kehilangan arah, jika tidak mempunyai tujuan yang jelas, seperti yang dirumuskan di sila kelima, yang bunyinya ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,’.
Ada yang Mulai Meninggalkan Pancasila
Sependapat dengan Singgih, Direktur Bina Ideologi, Karakter, dan Wawasan Kebangsaan, Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum, Drajat Wisnu Setyawan mengingatkan bahwa nilai luhur Pancasila yang seharusnya menjadi pondasi dan praktik bernegara yang dicetuskan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Namun, justru kini pemaknaannya semakin pudar. “Perlu sinergi bersama antara pemerintah, masyarakat, ormas dan lainnya untuk membumikan Pancasila,” kata Drajat.
Menurutnya, kondisi aktual saat ini yang berkaitan dengan kemajemukan Indonesia, yang disebabkan oleh keterbukaannya informasi dan kemajuan teknologi sehingga berdampak munculnya hoaks yang dapat memicu kericuhan, sehingga masyarakat dapat terprovokasi dengan isu SARA.
“Munculnya ancaman keutuhan NKRI ini, disebabkan kurangnya pemaknaan dan pengaplikasian nilai-nilai Pancasila. Termasuk keterbatasan perangkat kebijakan, bergesernya nilai etika kehidupan, dan memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa,” ucapnya.
Ia mengatakan, hasil survei Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap eksistensi Pancasila pada tahun 2019, menunjukkan bahwa dari 1.200 orang di 34 provinsi, sekitar 62 persen masih menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, 14 persen tidak mengetahui dan 24 persen mulai meninggalkan nilai-nilai Pancasila.
Untuk itu, dibutuhkan langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh ormas sebagai bentuk lembaga demokrasi di Indonesia untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila, untuk memperkuat ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan.
“Ormas harus menciptakan aktivitas dan program kegiatan dengan pesan yang bersifat ideologis, menerjemahkan ideologi dan wawasan kebangsaan Indonesia, menjaga konsistensi ideologi ormas, menanamkan ideologi dan wawasan kebangsaan kepada para anggotanya,” urainya.
Strategi lainnya adalah, dengan melakukan sinergi antara pemerintah dengan ormas melalui internalisasi dan penguatan nilai Pancasila, memerangi paham dan ideologi radikal, membangun sumber daya manusia berkualitas tinggi, memupuk dan memperkuat rasa nasionalisme, patriotisme dan cinta tanah air, membangun dan mengembangkan organisasi yang bersih dan kuat, serta mempersiapkan diri untuk menyikapi pengaruh globalisasi secara arif dan bijaksana.
“Semua permasalahan nasional yang melanda negara Indonesia ini, dapat diselesaikan apabila kita kembali mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Pelibatan ormas dalam srategi penguatan pengamalan nilai-nilai Pancasila merupakan langkah tepat karena ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” Drajat menyimpulkan.
Di akhir penyampaiannya, Drajat juga berharap dengan adanya sinergi antara pemerintah dan ormas, akan menjadi strategi tepat dalam penguatan pembinaan ideologi Pancasila di masyarakat.
Berbagai pemikiran mengenai Pancasila itu muncul webinar kebangsaan yang dihelat DPP LDII secara daring (15/8), bertajuk ‘Peran Ormas Islam Membumikan Pancasila’. Acara yang diikuti 3.000 pengurus MUI, DPW, dan DPD LDII itu, melibatkan 300 studio mini di 34 provinsi.
Para pembicara adalah perwakilan Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Drs. Drajat Wisnu Setyawan M.M, Kasubdis Lingkim Direktorat Bela Negara Ditjen Potensi Pertahanan Umum Kemhan Kolonel Adm Amiruddin Laupe, S.Ss, MM., Ketua DPP LDII Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono M.Hum. Hadir pula Ketua Umum MUI DKI Jakarta KH Munahar Muchtar dan Ketua Umum MUI Jawa Barat KH Rachmat Syafe’i mengikuti webinar dan turut memberikan pandangan-pandangan.
Agung Riyanto, Ketua LDII Kota Kediri menambahkan bahwa “Pancasila adalah hasil perjuangan para pendahulu, wujud kontribusi kita adalah mempertahankan dan mengamalkan sila – sila dalam Pancasila, serta selalu aktif dalam kerukunan, sesuai dengan nilai Pancasila,” pungkasnya.