Ini Bukti Kalau Penyesalan Datang Terlambat
Barangkali tidak akan ada yang bisa membandingi rasa sesal Jenderal Wu Sangui, seorang Panglima Perang dari Kekaisaran Ming di zaman China baheula. Gara-gara keputusannya meminta bantuan tentara Manchu untuk menumpas pemberontakan bangsa sendiri di dalam negeri, ujung-ujungnya senjata makan tuan: Manchu malah balik merebut tahta Ming. Tamatlah riwayat Dinasti yang selama 276 tahun melahirkan 16 kaisar, dengan peninggalan diantaranya Tembok Besar yang konon menjadi satu-satunya bangunan bumi yang alurnya bisa dilihat oleh astronot dari luar angkasa. Yang membuat luar biasa sesal seribu turunan adalah, karena Manchu itu bangsa asing!
Walhasil, sejak tahun 1644 sampai 1911 di masa The Last Emperor, Kaisar Terakhir menjelang Republik berdiri, China diperintah bukan oleh bangsanya sendiri. Dari sisi rasa nasionalisme, sangat menyakitkan. Atau rasa sesal Kaisar Napoleon Bonaparte dari Perancis yang walaupun tingginya hanya 160 cm, pendek untuk ukuran bangsa sono tetapi kejeniusan militernya serta kegemarannya berperang telah menjadikannya sebagai monster bagi negara-negara
Eropa lainnya. Hanya dengan 105 ribuan pasukan, kemenangan Napoleon melawan tentara gabungan di bawah pimpinan Jenderal Duke Wellington dari lnggris dengan 179 ribu pasukan, sebetulnya sudah sangat nampak di depan mata. Pada hari yang menentukan, gara-gara malam harinya hujan dan tanah becek, kepeutusan Napoleon untuk mulai menyulut kanon-kanon pasukanan menjadi jam 11:30 siang, yang secara tidak langsung memberikan kesempatan buying time kepada Wellington untuk menyusun kekuatan. Jadilah perang Waterloo, bulan Juni 1815, mejadi perang penyesalan bagi Napoleon sampai matinya.
Dalam kehidupan ini, banyak sekalian yang diambil, yang di belakang hari dapat menimbulkan penyesalan. Ada kesalahan keputusan yang baru disesali beberapa tahun kemudian. Misalnya kesalahan keputusan mengambil jurusan kuliah. Ada orang yang ketika sudah bekerja, merasa kalau jurusan kuliah yang dulu, ternyata keliru. Ada yang magnitude Waktunya bulanan. Misalnya kesalahan keputusan mengambil pasangan. Baru terasa setelah beberapa bulan hidup bersama. Ada yang magnitude waktunya harian. Misalnya keputusan untuk memborong dolar, karena ternyata keesokan harinya dollar malah turun. Ada yang magntude waktunya jam-jaman. Misalnya kesalahan keputusan memakan rujak pedas atau makanan tidak higienis. Beberapa jam kemudian tergantung daya tahan tubuh dan saktinya bakteri E. coli akibatnya adalah diare! Bahkan ada yang magnitude waktunya detik! Misalnya kesalahan keputusan membeli saham di bursa yang naik turunnya harga dalam hitungan detik. Maka itu, di dalam sejarah bursa saham dunia ada yang namanya Black Monday, 19-10-1987, dimana dalam sekejap harga saham ambruk, dan saking paniknya, banyak investor yang bunuh diri, setelah pialang sahamnya sendiri.
Tetapi bukankah di dunia ini ketika ada orang menyesal, ada orang lain yang justru bersuka-cita? Bukankah ketika keturunan Kekaisaran Ming tidak habis-habisnya sampai kiamat menyesali Jenderal Wu, ada bangsa Manchu yang bersuka-cita karena dengannya Panglima Perang nenek-moyangnya dulu merebut tahta? Bukankah ketika rakyat Perancis berduka karena kalah telak di Waterloo, ada sekian banyak negara-negara Eropa yang menyambut ketentaranya ?
Yang mengambil untung dari Perang Waterloo adalah juga Rotschild, keluarga Yahudi yang dalam sekejap secara finansial ibaratnya menjadi memiliki negara inggris. Pada saat Napoleon hampir menang, kaki tangannya menyebarkan isu balwa Wellington sudah di ambang kekalahan. Harga saham tentu saja jatuh. Lalu Rotschild memborongnya habis-habisan. Tahu-tahu ya itu tadi, justru Wellingtoon-lah yang ternyata menang. Jadi pada saat sebagian besar rakyat Inggris bersuka cita dengan kemenangan peperangan mengalahkan Monster Perancis, ada sebagian lagi yang hidup dalam penyesalan karena tiba-tiba dalam sekejap menjadi jatuh miskin gara-gara ulah Monster Yahudi.
Melanggar perintah agama sesungguhnya adalah sebuah keputusan. Seorang isteri tidak serta merta tidak taat kepada suami. Tetapi ada sebuah proses di dalamnya, yang bermuara kepada sebuah keputusan untuk tidak taat. Pasal-pasal (pembangkangan) bukanlah sebuah kejadian yang ujug-ujug. Ada proses di dalamnya, bisa cepat, bisa lambat, bisa oleh perorangan, bisa secara kolektif, yang berujung pada keputusan untuk tidak melaksanakan perintah. Misalnya pada Perang Uhud.
Tetapi kesalahan keputusan seberat apapun, selama masih hidup, selalu tersedia waktu untuk mencari pulihan. Bahkan di dalam ajaran Islam, setelah diucapkan kalimat istirja: inna lillaahi wa innaa ilaihi roojiuun sebagai bentuk penyerahan kembali segala perkara kepada Alloh, diteruskan dengan pengucapan dan pengamalan taubatan nasuha, maka penyesalan adalah sesuatu hal yang tabu untuk diungkit-ungkit.
Jadi marilah selalu haasibuu anfusakum qobla an tuhaasabuu, hisablah dirimu (di dunia) sebelum nanti di hisab (di akhirat). Adakah kesalahan-kesalahan dalam kehidupan di dunia ini yang kelak dapat menimbulkan sesal di akhirat? Baik kesalahan kepada Allah, Rosul maupun kepada sesama Anak Adam?
Ataukah pada saat menyesal di akhirat nanti, pada saat itu pula ada yang bersuka cita mengambil pahala atau memindahkan dosanya, karena pada saat hidup di dunia, dia pernah irasani, difitnah, dirampas haknya dicemarkan kehormatannya, piutangnya tidak dibayar, dan bentuk-bentuk pendzaliman lainnya?
Fa-aina tadzhabuun, hendak kemana engkau pergi?