Pancasila Sebagai Falsafah Bangsa, Rakyat Butuh Teladan Untuk Menjaganya ?
Semarang (1/10). Hari Kesaktian Pancasila diperingati untuk mengenang upaya penyelamatan terhadap kondisi pemerintahan pada tahun 1965, ketika itu sempat muncul isu usaha pengambilalihan kekuasaan dari Dewan Jenderal. Hal tersebut ditegaskan Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Singgih Tri Sulistiyono.
Singgih Tri Sulistiyono, seorang Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Diponegoro, menegaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi selalu dihadapkan pada ancaman ideologi lain yang ingin mendominasi Indonesia.
Dalam perkembangannya, upaya penggantian Pancasila ini bahkan melibatkan kekuatan komunis. Meskipun usaha untuk melawan negara tersebut akhirnya berhasil digagalkan, Pancasila tetap kokoh dan terbukti sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
“Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan wacana politik dan pendapat yang berkembang, usaha makar tersebut ternyata didalangi kekuatan komunis,” ujar Singgih yang juga Ketua DPP LDII, pada Sabtu (30/9).
Meskipun peristiwa Kekalahan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang disimbolkan oleh Hari Kesaktian Pancasila, adalah peristiwa masa lalu, sangat penting untuk memberikan makna pada momen tersebut. Ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman dan penghormatan terhadap Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dan dasar negara Indonesia.
Singgih juga menyoroti pentingnya memahami bahwa bangsa Indonesia menolak paham komunis karena Pancasila mencerminkan falsafah berbangsa yang didasarkan pada keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Komunisme, dengan unsur atheismenya, selalu bertentangan dengan prinsip religius dan nasionalis rakyat Nusantara.
“Berbicara mengenai falsafah hidup bangsa ini, di dalamnya dibangun atas keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Komunisme yang di dalamnya terdapat atheisme, tidak pernah sejalan dengan prinsip rakyat Nusantara yang religius nasionalis. Pengertian tentang hal ini, harus ditanamkan dengan baik” papar Singgih.
Untuk memastikan Pancasila tetap hidup di hati dan pikiran rakyat Indonesia, diperlukan upaya untuk mendukung pemahaman dan penerapan nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan budaya, agama, dan norma-norma yang berkembang di masyarakat.
Pancasila harus dijiwai oleh keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan prinsip utama yang menjadi dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, prinsip-prinsip kemanusiaan, persatuan bangsa, musyawarah, dan keadilan sosial juga harus diterapkan secara utuh, tanpa terpisahkan satu sama lain.
Baca Juga : Forsgi Kota Kediri Gelar Kapolres Cup U10 & U12 2023
Oleh karena itu, Pancasila membutuhkan keteladanan. Para pemimpin dan tokoh yang memiliki pengaruh di negara ini harus memberikan contoh yang baik agar nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan dengan kuat dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Melalui pendekatan formal dan non formal, seperti pengintegrasian Pancasila dalam kurikulum pendidikan nasional, kita dapat memastikan bahwa Pancasila akan selalu hadir dalam hati dan pikiran rakyat Indonesia, sepanjang masa.
“Pancasila sejatinya butuh keteladanan. Saya yakin rakyat di tingkat bawah pasti akan sepenuh hati melaksanakan ajaran yang sudah menjadi konsensus bersama ini. Untuk itu, para pemimpin atau mereka yang sedang memegang tampuk kekuasaan di negara ini, seharusnya memberikan teladan dan contoh yang baik, agar penerapan nilai-nilai Pancasila kian menguat dalam semua sendi kehidupan,” ungkapnya.